Pages

Subscribe:

Kamis, 15 November 2012

Antara Dua Pilihan

Dalam menyambut pergantian tahun, baik Masehi atau Hijriyah
sebagian besar dari kita tentu merayakannya. Baik dengan hal yang baik dan bermanfaat,
atau hanya sekedar hura-hura. Namun, apa pilihan kita ketika dua perayaan
tersebut bertolak belakang? Ditambah dengan latar belakang sejarah yang sedemikian jauh berbeda? Tentukan pilihan kita dan pastikan itu yang terbaik!

Kalender sehari-hari yang kita gunakan untuk menghitung hari, bulan, dan tahun, umumnya adalah kalender Masehi. Begitu kita biasa menyebutnya. Kata Masehi itu sendiri diambil atau berasal dari Bahasa Arab; Al-Masih, yang berarti menghapus,menyapu. Sebutan Al-Masih itu sendiri adalah gelar bagi Nabi Isa AS.
Kenapa dinamakan demikian? Karena penetapan kalender Masehi tersebut merujuk pada tahun  yang ‘dianggap’ kelahiran Nabi Isa AS. Ada juga istilah lain yang sering digunakan selain Masehi, seperti Christ (Inggris: Kristus), Common Era (CE), dan Anno Domini (Latin: Tahun Tuhan Kita). Nah, untuk menyebut tahun sebelum Masehi biasanya menggunakan istilah Before Christ (BC), Before Common Era (BCE), atau sebelum Masehi (SM).

Selain itu, kalender masehi tersebut memiliki akar sejarah yang kuat dengan astrologi Mesir Kuno, Mesopotamia, Babel, Yunani, dan Romawi Kuno. Karena akar sejarah yang demikian itu, pada akhirnya kalender masehi mendapat sentuhan dari kalangan Gerejawan. Hal tersebut terbukti pada saat Dionisius Exoguus, seorang biarawan Katolik mendapat titah (tahun 527 M) dari pimpinan gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak yang mendasar pada kelahiran Jesus Christ (Yesus Cristus). Dan juga dari keputusan penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang dilayangkan oleh pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII. Keputusan itulah yang hingga saat ini diikuti dan dirayakan oleh kalangan banyak orang di seluruh dunia.
 Namun juga tidak sedikit dari kita yang menggunakan perhitungan hari, bulan, dan tahun mengikuti perhitungan kalender Islam, atau yang kita sebut dengan kalender Hijriyah. Hanya saja mungkin sebagian dari kita itu kurang mengerti sejarah asal-muasal kalender Hijriyah itu muncul.
Syahdan, pada saat Umar bin Khattab r.a menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar As-Shiddiq r.a, beliau mendapat sepucuk surat dari sahabatnya yang bertugas menjadi gubernur di Kuffah (sekarang Irak), Musa Al-Asy’ari. Surat tersebut berisikan komentar Musa Al-Asy’ari terhadap surat Umar r.a kepadanya beberapa waktu sebelumnya dan tidak bertanggal.
“Sesungguhnya telah sampai kepadaku beberapa surat dari anda yang tidak dibubuhi tanggal”. Begitulah isi surat dari Musa Al-Asy’ari.
Mendapat kiriman surat seperti di atas, Khalifah Umar r.a langsung meresponnya dan langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah tentang pentingnya umat Islam membuat penanggalan sendiri di luar penanggalan atau kalender yang sudah ada pada waktu itu. Dari musyawarah tersebut muncullah beberapa usulan dari para sahabat. Salah satunya adalah suatu pendapat yang mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Juga ada yang berpendapat, lebih baik agar dimulai dari saat diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi rasul. Sebagian yang lain berpendapat, dimulai dari saat Rasulullah SAW melaksanakan Isra’ Mi’raj saja. Bahkan ada yang usul, sebaiknya perhitungan kalender dimulai dari kemangkatan Rasulullah SAW.
Lalu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajukan pendapat agar kalender Islam dimulai dari saat tahun hijrahnya Rasul dari Makkah ke Madinah saja. Mengingat betapa penting peristiwa hijrah tersebut dalam perjuangan dakwah Rasulullah SAW. Hijrah yang menjadi tonggak sejarah perkembangan Islam yang luar biasa, dan sekaligus menandakan perpindahan umat yang kufur dan bathil menuju Islam yang mandiri dan religius. Maka, semua yang hadir pada majlis musyawarah tersebut sepakat mengambil pendapat Ali, dan menetapkan 1 Muharram menjadi awal hitungan kalender Islam.
Uraian dua sejarah yang bertolak belakang dari dua akar sejarah di atas pastinya menimbulkan spontanitas pada pikiran kita masing-masing pada umumnya, dan pada hati kita masing-masing pada khususnya, apa yang seyogyanya kita anut. Sumber mana yang kita ikuti. Dan hingar-bingar yang selama ini kita rayakan adalah ketetapan dan keputusan siapa.
Dari dua sumber yang berbeda, tentunya menimbulkan reaksi peluapan ekspresi yang berbeda pula pastinya. Bukan barang tabu lagi, dalam menyongsong pergantian kalender Masehi, hip-hip hura, hingar-bingar, pesta kembang api-terompet, dan lain sebagainya menjurus pada perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya bukan untuk memohon kebaikan kepada Allah SWT untuk tahun mendatang. Bahkan, tak sedikit kawulan muda zaman sekarang meluapkannya dengan perbuatan-perbuatan asusila, dan hal tersebut juga bukan menjadi hal yang tabu lagi. Saban tahun, pasti selalu mewarnai media-media tentang ekspresi asusila tersebut.
Beda lagi dengan menonton segelintir umat yang peduli pada peringatan hari besar Islam. Dalam merayakan tahun baru Hijriyah, para salafunas sholihun lebih memilih duduk berdo’a mengharap tahun-tahun sebelumnya segala amal bisa diterima dan pada tahun mendatang diberi banyak kebaikan. Baru-baru ini juga terdapat sekelompok orang yang merayakan tahun baru hijriyah dengan turun ke jalan dan menggemakan shalawat kepada Rasulullah SAW dan takbir kepada Allah SWT.
 Tentunya, jika kita memandang dua kutub yang berbeda di atas dengan menggunakan hati nurani, hati kecil yang terdalam, pastinya di sana nanti terdapat sepercik jawaban jernih yang hanya mengarah pada hal yang di ridhai Allah SWT. Penilaian kita akan mendekati sempurna, jika demikian.
Begitu jua ketika apa yang kita ambil sebagai intisari dari dua hal di atas sebatas menurut logika, sudah jadi barang tentu anda lebih tahu, mana yang secara logis mendatangkan manfaat dan mana yang mendatangkan mudarat. Mana yang menguntungkan pada masa mendatangkan, dan mana yang hanya menguntungkan pada masa saat perayaan saja. Anda pasti tahu dan punya jawaban masing-masing! (C-X)

0 komentar:

Posting Komentar

Kalau anda ingin Ngasi "Comment" jangan baik atau buruknya sesuatu, tapi kasihlah komentar keduanya.