Dalam menyambut pergantian tahun, baik Masehi atau Hijriyah
sebagian besar dari kita tentu merayakannya. Baik dengan hal yang baik dan bermanfaat,
atau hanya sekedar hura-hura. Namun, apa pilihan kita ketika dua perayaan
tersebut bertolak belakang? Ditambah dengan latar belakang sejarah yang sedemikian jauh berbeda? Tentukan pilihan kita dan
pastikan itu yang terbaik!
Kalender sehari-hari yang kita gunakan untuk menghitung hari, bulan, dan
tahun, umumnya adalah kalender Masehi. Begitu kita biasa menyebutnya. Kata
Masehi itu sendiri diambil atau berasal dari Bahasa Arab; Al-Masih, yang
berarti menghapus,menyapu. Sebutan Al-Masih itu sendiri adalah gelar bagi Nabi
Isa AS.
Kenapa dinamakan demikian? Karena penetapan kalender Masehi tersebut
merujuk pada tahun yang ‘dianggap’ kelahiran
Nabi Isa AS. Ada juga istilah lain yang sering digunakan selain Masehi, seperti
Christ (Inggris: Kristus), Common Era (CE), dan Anno Domini (Latin: Tahun Tuhan
Kita). Nah, untuk menyebut tahun sebelum Masehi biasanya menggunakan istilah
Before Christ (BC), Before Common Era (BCE), atau sebelum Masehi (SM).
Selain itu, kalender masehi tersebut memiliki akar sejarah yang kuat dengan
astrologi Mesir Kuno, Mesopotamia, Babel, Yunani, dan Romawi Kuno. Karena akar
sejarah yang demikian itu, pada akhirnya kalender masehi mendapat sentuhan dari
kalangan Gerejawan. Hal tersebut terbukti pada saat Dionisius Exoguus, seorang
biarawan Katolik mendapat titah (tahun 527 M) dari pimpinan gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak
yang mendasar pada kelahiran Jesus Christ (Yesus Cristus). Dan juga dari
keputusan penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang dilayangkan oleh pimpinan
Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII. Keputusan itulah
yang hingga saat ini diikuti dan dirayakan oleh kalangan banyak orang di
seluruh dunia.
Namun juga tidak sedikit dari kita
yang menggunakan perhitungan hari, bulan, dan tahun mengikuti perhitungan
kalender Islam, atau yang kita sebut dengan kalender Hijriyah. Hanya saja
mungkin sebagian dari kita itu kurang mengerti sejarah asal-muasal kalender
Hijriyah itu muncul.
Syahdan, pada saat Umar bin Khattab r.a menjadi khalifah menggantikan Abu
Bakar As-Shiddiq r.a, beliau mendapat sepucuk surat dari sahabatnya yang
bertugas menjadi gubernur di Kuffah (sekarang Irak), Musa Al-Asy’ari. Surat
tersebut berisikan komentar Musa Al-Asy’ari terhadap surat Umar r.a kepadanya
beberapa waktu sebelumnya dan tidak bertanggal.
“Sesungguhnya telah sampai kepadaku beberapa surat dari anda yang tidak
dibubuhi tanggal”. Begitulah isi surat dari Musa Al-Asy’ari.
Mendapat kiriman surat seperti di atas, Khalifah Umar r.a langsung
meresponnya dan langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah
tentang pentingnya umat Islam membuat penanggalan sendiri di luar penanggalan
atau kalender yang sudah ada pada waktu itu. Dari musyawarah tersebut muncullah
beberapa usulan dari para sahabat. Salah satunya adalah suatu pendapat yang
mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Juga
ada yang berpendapat, lebih baik agar dimulai dari saat diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi
rasul. Sebagian yang lain berpendapat, dimulai dari saat Rasulullah SAW melaksanakan Isra’ Mi’raj
saja. Bahkan ada yang usul, sebaiknya perhitungan kalender dimulai dari kemangkatan
Rasulullah SAW.
Lalu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajukan pendapat agar kalender Islam
dimulai dari saat tahun hijrahnya Rasul dari Makkah ke Madinah saja. Mengingat
betapa penting peristiwa hijrah tersebut dalam perjuangan dakwah Rasulullah
SAW. Hijrah yang menjadi tonggak sejarah perkembangan Islam yang luar biasa, dan
sekaligus menandakan perpindahan umat yang kufur dan bathil menuju Islam yang
mandiri dan religius. Maka, semua yang hadir pada majlis musyawarah tersebut
sepakat mengambil pendapat Ali, dan menetapkan 1 Muharram menjadi awal hitungan kalender Islam.
Uraian dua sejarah yang bertolak belakang dari dua akar sejarah di atas
pastinya menimbulkan spontanitas pada pikiran kita masing-masing pada umumnya, dan pada hati kita masing-masing pada khususnya, apa yang seyogyanya kita
anut. Sumber mana yang kita ikuti. Dan hingar-bingar yang selama ini kita
rayakan adalah ketetapan dan keputusan siapa.
Dari dua sumber yang berbeda, tentunya menimbulkan reaksi peluapan ekspresi
yang berbeda pula pastinya. Bukan barang tabu lagi, dalam menyongsong pergantian kalender Masehi, hip-hip hura,
hingar-bingar, pesta kembang api-terompet, dan lain sebagainya menjurus pada
perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya bukan untuk memohon kebaikan kepada Allah SWT untuk
tahun mendatang. Bahkan, tak sedikit kawulan muda zaman sekarang
meluapkannya dengan perbuatan-perbuatan asusila, dan hal tersebut juga bukan menjadi hal yang tabu lagi. Saban tahun, pasti selalu mewarnai media-media tentang ekspresi asusila
tersebut.
Beda lagi dengan menonton segelintir umat yang peduli pada peringatan hari
besar Islam. Dalam merayakan tahun baru Hijriyah, para salafunas sholihun
lebih memilih duduk berdo’a mengharap tahun-tahun sebelumnya segala amal bisa
diterima dan pada tahun mendatang diberi banyak kebaikan. Baru-baru ini juga terdapat sekelompok orang yang merayakan tahun
baru hijriyah dengan turun ke jalan dan menggemakan shalawat kepada Rasulullah SAW dan takbir kepada Allah SWT.
Tentunya, jika kita memandang dua
kutub yang berbeda di atas dengan menggunakan hati nurani, hati kecil yang
terdalam, pastinya di sana nanti terdapat sepercik jawaban jernih yang hanya mengarah pada hal yang di ridhai Allah SWT. Penilaian kita akan mendekati sempurna, jika demikian.
Begitu jua ketika apa yang kita ambil sebagai intisari dari dua hal di atas sebatas menurut logika, sudah jadi barang
tentu anda lebih tahu, mana yang secara logis mendatangkan manfaat dan mana
yang mendatangkan mudarat. Mana yang menguntungkan pada masa mendatangkan, dan
mana yang hanya menguntungkan
pada masa saat perayaan saja. Anda pasti tahu dan punya jawaban masing-masing! (C-X)
0 komentar:
Posting Komentar
Kalau anda ingin Ngasi "Comment" jangan baik atau buruknya sesuatu, tapi kasihlah komentar keduanya.