Pages

Subscribe:

Kamis, 29 April 2010

Goresan Pena dari Penghobi “Baca-Tulis” Salafiyah

OSMAS, kita semua tahu itu adalah nama salah satu organisasi besar yang ada di pesantren ini. Karena itu, orang-orang di dalamnya bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah orang terpilih dan terlatih dibidang keorganisasian. Dengan bakat yang bermacam-macam, mereka bersatu, bersama memajukan dan menjadikan santri salafiyah lebih kreatif. Tak lupa, ketulusan hati dan segenap perngorbanan tergenggam erat di tangan mereka.

Bertahun-tahun organisasi ini berdiri. Sejauh itu pula berbagai sejarah, baik pahit maupun manis tertoreh di dalamnya. Berbagai macam trofi dalam berbagai ajang tingkat kota hingga nasional terpampang di kantornya. Sebagai bukti sejarah-sejarah manis pernah dilaluinya. Walau tak jarang beberapa ujian yang menghadang membuat jalan mereka tersendat.

Dengan pembuktian seperti di atas, telah menunjukkan bahwa, walau mereka bekerja dengan fasilitas seadanya, dana berkecukupan, dan lain sebagainya, mereka mampu membawa santri lebih kreatif. Mengapa di sini di katakan fasilitas yang digunakan seadanya ? Ya, kita lihat lah apa saja yang ada di OSMAS. Apa saja yang harus dikerjakan. Berapa besar tugas-tugas yang harus dirampungkan. Sub-sub bidang di dalamnya yang berjumlah tak lebih dari enam sebagai bukti bahwa memang tak sedikit kegiatan yang dilangsungkan dan diselesaikan.
Belum lagi jika menjelang haflah. Bak satu biji gula dikerubung seratus semut. Komputer satu dipakai 6 sub bidang, dipakai buat desain dekorasi, dibuat mendata undangan, mendesain undangan. Itu masih belum yang lain. Siap-siap saja tugasnya terbengkalai dan berakhir kurang manis, karena harus “ngantri” komputer dulu. Walau begitu, tak membuat surut semangat orang-orang di dalamnya untuk terus memajukan santri salafiyah, memenuhi keperluan dan menyelesaikan tugas yang harus di bereskan.
Dengan beberapa hasil yang ada. Menunjukkan bahwa dengan fasilitas seadanya, walau tak sesempurna yang di harapkan, mereka mampu berjuang memberikan yang terbaik, walau tak harap di puji. Mereke berusaha memberikan kepuasan kepada santri, walau tak menginginkan imbalan. Memang harus begitu jika berorganisasi, harus ikhlas mas.
Seiring berjalannya waktu, masalah yang merundung di dalamnya semakin banyak dan besar. Tak jarang hingga menggegerkan langit salafiyah. Bak gali lubang tutup lubang. Setiap masalah satu beres, masalah lain tumbuh.
Yang baru-baru ini adalah mengenai masalah pencopotan Koran. Yang di anggap faktor meningkatnya ketelatan dan menurunnya nilai para santri. Sebuah dalil yang membuat orang yang haus ilmu takluk dengannya.
Tapi, mengapa ketika nilai santri merosot dan tingkat ketelatan tumbuh dengan pesat harus Koran yang disalahkan? Media yang dikoordinasikan OSMAS. Padahal, jika diteliti dan dikaji lebih dalam lagi, ada faktor lain yang lebih berpengaruh dari pada “nongkrong” di depan kotak Koran.
Mereka, santri yang ada di kamar mandi, diserambi mushollah, di kamar, dan sebagian yang masih di warung, atau santri kampung yang datang lebih akhir, apa sudah di kontrol ? Apa semua itu juga bukan faktor ketelatan santri ? Mengapa keaktifan kegiatan kelas dan keaktifan muthola’ah sama sekali tak disangkut pautkan dengan kemerosotan itu?. Satu alasan yang lebih logis.
Malah, andai saja Koran benar-benar di copot. Tidak menutup kemungkinan, ketelatan santri akan lebih hebat lagi. Mengapa demikian? Coba lihat setiap hari Koran full, banyak sekali yang menantikan kehadirannya. Itu menunjukkan bahwa mereka sangat antusias dan sangat pengen tahu apa yang terjadi diluar sana. Selain di pesantren lain jarang ada fasilitas seperti ini, belum tentu hiburan lain bisa menyegarkan otak mereka yang penat seperti segarnya membaca berita dikoran.
Ketika surat keputusan pencopotan atau pemunduran jam terbit koran turun. Mereka para santri akan mencari warkop yang ada korannya, berburu berita hangat. Dan pasti akan diikuti yang lain. Hasrat mereka sudah terbiasa dengan Koran, jadi tak bisa lalui hari tanpa Koran. Kalau sudah begitu, santri akan lebih banyak santri yang telat. Karena warkop ber-koran jaraknya cukup jauh dengan komplek pesantren. Belum lagi nanti antri dengan para kawan sesama pecinta Koran. “Laa Yauman Bila Jaridah” begitulah kata dari salah satu “KORMA” (Koran Mania), sebuatan dari pecinta Koran santri salafiyah.
Belum jika para gibol yang tak nonton tayangan club kesayangannya karena terbentur dengan peraturan dan kegiatan pondok, dan hanya Koranlah penyampai beritanya, lalu Koran dihapus. Pastinya, bagaimanapun juga mereka akan memburu beritanya sampai ketemu.
“Kan tak harus Koran? Kan juga ada internet” begitu komentar para santri. Oke akan disebutkan beberapa alasannya kenapa “hanya” Koran. Bayangkan saja, warnet salafiyahnya buka tak pasti, masih harus merogoh rupiah. Kalau Koran kan tidak. Semua siswa bersama iuran untuk dibelikan Koran, dan dibaca bersama di depan meeting Room.
Ah, biarlah Koran dicopot. Tapi jangan salah jika warkop ber-koran akan dipenuhi para santri. Mereka antri baca Koran di warkop. Yang mengakibatkan lebih parahnya ketelatan. Atau, tempat korannya di pindah aja ya ? di halaman, jadi kan enak. Pasti malu masih baca Koran, padahal sudah jamnya masuk sekolah. Ya, ya, ya, di halaman (betul banget). Pasti tak ada yang lari ke warkop, dan masuk tak telat. Mmmmm. Kami sebagai santri jelata yang sangat hobi menulis dan membaca bermula dari hobi baca dan mempelajari Koran. Meskipun tidak sesuai dengan apa yang yang dikehendaki oleh Syaikhina. Biarlah para atasan sajalah yang mengurus dan memberikan peraturannya.
Tanpa mengurangi rasa hormat, kami semua yakin dengan apa yang di lakukan beliau-beliau pasti yang terbaik buat kita semua dan pastinya untuk kepentingan kita juga. Wallahu A’lam. (Warga Ibtida’iyah dan sebagian aliyah dan Tsanawiyah)

0 komentar:

Posting Komentar

Kalau anda ingin Ngasi "Comment" jangan baik atau buruknya sesuatu, tapi kasihlah komentar keduanya.